Rasanya Bekerja di Izakaya Jepang
Bekerja di Izakaya merupakan salah satu pengalaman yang berharga saat awal tinggal di Jepang
Bukan hal yang asing lagi jika kita sebagai pelajar di Jepang mau tidak mau harus アルバイト”arubaito” (part-time job) sembari kita kuliah ataupun sekedar belajar bahasa Jepang. Karena tingginya biaya hidup di Jepang yang sangat jauh berbeda dengan biaya kita hidup di Indonesia. Untuk sekedar makan saja kita setidaknya harus membayar paling murah 50 ribu rupiah sekali makan, dan itu belum biaya pengeluaran yang lainnya seperi bayar apartment, transportasi, internet, yang pastinya jauh lebih mahal yang dari kita biasanya bayar di Indonesia.
Dan bukan perkara yang mudah kita sebagai orang asing, pendatang bekerja di negara orang yang memiliki budaya yang sama sekali berbeda dengan kita, ditambah dengan minimnya kemampuan bahasa Jepang yang kita miliki. Hasilnya kita saling memiliki toleransi, saling mencoba mengerti satu dengan yang lain meskipun tidak mengeti bahasa satu dengan yang lain. Sebagai informasi di Jepang kita tidak bisa bergantung dengan bahasa Inggris karena tidak banyak orang yang mengerti bahasa selain bahasa Jepang, hanya saja kadang kita bisa menemukan beberapa dari mereka memiliki kemampuan bahasa inggris yang lumayan.
Masih ingat saat itu ketika baru 3 bulan belajar bahasa Jepang , beberapa dari kita memutuskan untuk mencari part-time job sekedar untuk mengurangi beban biaya hidup yang tinggi di Tokyo. Akhirnya kita konsultasi kepada guru di sekolah bahasa Jepang untuk mencarikan kita pekerjaan yang sekiranya tidak membutuhkan kualifikasi kemampuan bahasa Jepang yang tinggi. Kita pun mendapatkan pekerjaan di sebuah Izakaya (Restoran sekaligus tempat minum khas Jepang) sebagai waiters. Jika dipikir-pikir kita saat itu cukup nekat juga dengan melihat kemampuan bahasa Jepang yang sangat seadanya, bahkan waktu kita interview dan harus menuliskan formulir saking tidak mengertinya dengan kanji Jepang akhirnya sang manager sendirilah yang mengisikan formulir untuk kita.
Meskipun awal-awal masa kita bekerja hanya diperbolehkan mengantarkan makanan dan minuman yang sudah siap diantar dari dapur ke meja pelanggan, itu bukanlah pekerjaan yang mudah, karena pada kenyataan slip yang menunjukkan keterangan pesanan dari makanan tersebut sudah pasti tertulis dengan “ Kanji ”. Mungkin senior-senior orang Jepang sudah sangat memaklumi hingga tidak bosan-bosannya mengulang cara baca kanji kepada kita. Dan kondisi itu terus berlangsung hingga beberapa bulan kita bekerja di tempat itu, belum lagi menghadapi pelanggan-pelanggan yang rese. Yang jelas saat masih part-time di tempat itu setiap sebelum datang ke tempat itu jantung selalu berdetuk kencang, sambil berfikir “ ada kejadian apa lagi ya hari ? ” dan berharap semua berjalan dengan cepat. Istilah “ enjoy ajah “ tidak berlaku di lingkungan kerja Jepang, karena sekecil apapun kesalahan kalian bisa menjadi hal yang rumit di lingkungan kerja Jepang.
Akan tetapi bukan tanpa hasil bekerja di tempat yang penuh tekanan seperti itu, dengan suasana kerja yang sangat mengasah kemampuan komunikasi sudah pasti meningkatkan kemampuan bicara dan listening bahasa Jepang. Hasilnya bulan Desember di tahun yang sama meskipun dipaksa guru di sekolah bahasa Jepang untuk ikut tes langsung ditingkat JLPT N3, karena telinga sudah cukup terbiasa mendengar teriakan orang Jepang, ocehan pelanggan bawel, dan dipaksa untuk berkomunikasi dengan bahasa Jepang, N3 pun lulus karena terangkat di nilai listening. Bagi yang belum tahu tingkatan level kemampuan bahasa Jepang, jadi JLPT (Japanese Language Proficiency Test) itu ada 5 tingkatan, dari tingkatan terendah N5 sampai tingkatan tertinggi N1. Jadi tingkat N3 itu setara dengan level intermediate dalam bahasa Inggris, dan itu bukan test yang mudah buat orang yang baru belajar bahasa Jepang selama 7 bulan, terutama orang dari negara yang tidak mengenal sama sekali huruf Kanji. Intinya dengan berada di lingkungan yang cukup keras (buat tambahan, bekerja di tempat banyak orang mabuk itu tidak sama sekali mudah) benar-benar menempa kemampuan bahasa Jepang, sekaligus mendapat penghasilan yang lumayan. Kalau dihitung dengan rate sejam 100 ribu rupiah dengan bekerja selama tiga hari dalam seminggu pun kira-kira bisa mendapatkan 5-8 juta rupiah perbulan.
Dan pengalaman selama satu tahun lebih bekerja di izakaya itu benar-benar membetuk mental kita para perantau yang mencoba mengadu nasib di negeri orang. Tidak jarang pula kita merasakan kejadian yang tidak mengenakkan di Jepang. Dengan pengalaman itu pula kita akhirnya merasa kecil, karena ketika awal kita keluar dari zona nyaman, kita hanya bisa bersabar, bertahan, dan mencoba memahami lingkungan kita yang sama seklai beda hanya untuk bertahan hidup. Pastinya jangan keras kepala, kosongkan gelas kepala, belajar tanpa mengeluh, karena meskipun sangat susah ada saatnya kamu bisa karena terbiasa. Dari hanya pengantar pesanan hingga dipercaya menjadi orang bertanggung jawab menerima order pelanggan.
Jika dipikir-pikir kembali memang menakutkan terjun ketempat yang tidak familiar, dan nekat meski kemampuan terbatas. Tapi terkadang hanya tinggal waktu sampai saatnya kita naik, selama terus ingin belajar. Yang jelas menjadi siapa saya sekarang, dimana saya sekarang di Jepang semua berawal dari tempat ini.
~stay foolish, stay hungry